Memiliki (melahirkan) bayi Down Syndrome (DS) memang butuh waktu, biaya dan esktra sabar sejak bayi hingga dewasanya. Jika banyak membaca setiap artikel penulis, maka akan ada perbedaan ujung hasil berdasarkan segala upaya perbaikan yang akan dilakukan.
Beberapa Faktor berikut akan turut mempengaruhi perbaikan yang diupayakan di bidang perawaran kesehatan bayi DS.
seperti wajah sudah banyaj ciri khas, otot-otot lemas lunglai (hipotonia) ditambag adanya kelainan jantung bocor besar yang mengharuskan bayi ini dioperasi bedah terbuka dada (setelah dilakukan tes echo jantung).
Dan setiap masing-masing orang tua pemilik bayi DS akan melalui salah satu dari 3 ranah pengupayaan berikut, apa saja 3 ranahnya adalah :
1. Pasrah tapi dengan sangat minim perbaikan, cenderung hanya rutinitas hidup saja
Contoh nyata 1 : Ada bayi DS dengan kondisi jantung bocor besar, padahal sudah komunikasi dengan penulis langkah-langkah perbaikan tahap 5 bulan usia pertamanya, tahap memperbaiki ciri khas, lalu sudah vaksin tahap awal, lalu sudah melakukan tes echo jantung (ternyata bocor besar) dan sudah daftar BPJS. Namun karena rumah jarak 125 kilometer dari RSJP Harapan Kita Pusat Jantung Nasional, bayi harus didaftarkan jadwal operasi jantung (padahal gratis) namun tidak ada ongkos bus bolak balik & ketidak mampuan untuk kos di belakang rumah sakit untuk beberapa hari, lalu mengatakan sudah pak, saya pasrah aja, dan benar saja 5 atau 6 bulan kemudian bayinya meninggal dunia. Jadi takdir sesuai dengan kemampuan ihktiar yang diupayakan.
Contoh nyata 2 : Penulis dapat info dari salah satu orang tua pasien kami yang tetangganya punya bayi DS namun sejak 0 tahun hingga usia 8 tahun, hanya seperti rutinitas bayi normal saja, tanpa difisioterapi, tanpa dilatih secara rutin, dikarenakan si bayi DS tidak ada masalah di organ dalam, jadi hanya jenis DS ringan saja, lalu kehidupan tentua disusui, makan, mandi dipakaikan baju, perkembangan tumbuh kembang hanya dipantau saja, akhirnya si anak baru bisa jalan usia 8 tahun. Sehingga semua PAUD, Pra TK, TK A, TK B bahkan sekolah dasar berakibat tidak pernah dilalui, jadi hanya meringkuk di rumah / di kamar tidur tanpa bisa apa-apa.
2. Ikhtiar namun hanya upaya sekedarnya. Jadi ikhtiar dengan pengupayaan semampunya lalu tawakal (ibarat kata misal sudah bisa jalan di usia 4 tahun lalu berkata : "ah perkembangan segini aja sudah bersyukur banget".
Banyak orang tua pemilik bayi DS hanya mengupayakan (ikhtiar) sekedarnya, karena mengannggap toh nantinya setelah anaknya besar lalu tidak akan bisa bekerja (padahal ini pola mind set yang belum tentu benar).
Jadi mulai dari terapi fisik saat bayi hanya mengandalkan yang di KKTK rumah sakit, lalu tidak mengulang di rumah, kurang melatih bicara saat sudah usia 2 tahunan.
Contoh yang sangat banyak terjadi anak DS terlambat bisa jalan, banyak yang baru bisa jalan di atas usia 3 tahunan hingga 4 tahun, lalu belum bisa bicara padahal sudah hampir 4 tahun lalu menjadi efek domino, karena sudah capek dengan 4 tahun pertama yang fokus ke kemampuan jalan, sehingga masuk tahap latihan bicara orang tuanya malas melatih sehari-harinya, dan anak kurang dilatih perintah sederhana di rumah melakukan hal-hal sederhana, sehingga anak dibantu terus menerus apapun halnya. Jadilah anak kurang mandiri untuk hal-hal okupasi dan seterusnya.
3. Ikhtiar yang maksimal lalu tawakal
Khusus
Mengapa ranah 1 dan 2 masih banyak terjadi pada bayi-bayi DS di Indonesia, pertama lebih kepada kurangnya ekonomi keluarga (sampai ongkos bus dan kost sekitar 2 sd 3 hari di belakang RS Harapan Kita-pun) tidak mampu dan masih minimnya literasi update (informasi terkini) para orang tua pemilik anak penyandang DS tentang seputaran keberhasikan yang bisa diraih orang Down Syndrome 1 dekade (10 tahun) belakangan.
Bahkan masih banyak orang-orang pemilik anak DS, bahkan juga orang-orang medis masih menganggap orang Down Syndrome tidak bisa bekerja setelah dewasa, padahal mereka keliru, bisa jadi belum dapat info kekinian bahwa sejak 2016 hingga 2025 ini sudah banyak sekali orang penyandang Down Syndrome masih muda-muda di usia 20an-30 tahun banyak sudah punya penghasilan. Di Indonesia pun sudah ada yang lulus sarjana D3 Studi Pangan di IPB.
Bahkan di luar negeri beberapa menjadi pengusaha kaos sablon, usaha hiasan keramik piring lodor dan lain-lain yang penghasilannya mengalahkan anak-anak normal. Ada yang lulus kuliah lawyer (pengacara), guru, model, peragawati, pemain film.
MASIH DALAM EDITAN