Rabu, 14 November 2012

6 Ghibah yang Diperbolehkan

Mungkin ada di antara kita yang tidak / kurang bisa membedakan mana itu ghibah atau tidak ghibah. Di sini penulis mengutip beberapa ayat sebagai referensi dan beberapa contoh kasus, agar menjadi jelas, bahwa ada hal-hal walaupun kita membicarakan orang lain, tetapi hal tersebut bukan ghibah.

Ghibah adalah menyebutkan/menceritakan aib (keburukan)* seseorang (orang lain) –yang benar- yang orang tersebut tidak suka jika disebutkan. Jika yang disebutkan itu benar, namanya ghibah, jika tidak benar namanya buht (dalam bahasa Indonesia dikenal dengan ‘fitnah’) (silakan lihat definisi ini di kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah Juz 31 hal 330). Di masa sekarang, istilah yang serupa dengan ghibah adalah gosip. Pada faktanya, semua gosip adalah ghibah karena menginformasikan aib seseorang (biasanya artis) yang tentu artis tersebut tak menyukainya.
_______
* Catatan: Bila membicarakan orang lain yang, misalnya: "Wanita si anu baru saja mengenakan jilbab." JELAS INI BUKAN GHIBAH. Mengapa ? Karena ini bukan sebuah aib/keburukan/kejelekan. Justru kita telah mengabarkan sebuah hal kebaikan untuk orang lain. Insya Allah orang yang mendengar mungkin akan ikut termotivasi mengenakan jilbab (karena tujuan mengenakan jilbab adalah menutup aurat wanita yang lebih banyak bagiannya dari pada laki-laki). Tanpa kita melihat dari sudut mana bagi si wanita ke 2 yang ikut menjadi termotivasinya sehingga memakai jilbab.

Atau contoh lain: Di masjid saat 'Idul Qurban diumumkan nama orang-orang yang berkurban sapi atau kambing, sehingga orang lain seluruh lingkungan menjadi tahu bahwa si fulan berkurban seekor hewan, lalu orang-orang di lingkungan pada membicarakan bahwa si fulan berkurban. Inipun bukan Ghibah, karena bukan membicarakan aib / keburukan. Bahkan bisa saja hal ini, akan memotivasi orang lain, untuk tahun depan ikut berkurban.

Jadiiiiiiiii: Bila ada seseorang sedang membicarakan orang lain, seharusnya kita (Anda) bisa menilai, mencermati, menghayati dan mencerna, apakah yang orang lain bicarakan kepada Anda adalah sebuah ghibah atau bukan, yaitu caranya adalah bila kalimat orang lain tersebut kita 'gulirkan' ke orang lain lagi, lalu cerita dari orang pertama bila terdengar sampai ke orang yang sedang dibicarakan (andai suatu saat) tahu, lalu orang yang dibicarakan dalam cerita tersebut akan merasa tersinggung, karena memang sebuah aib/kejelekan/keburukan, artinya ini memang sebuah ghibah. Bila tidak, artinya bukan ghibah.
_______

Secara umum, hukum ghibah adalah haram menurut kesepakatan para ulama. Sebagian ulama, misalnya Imam al-Qurthubi rahimahullah, bahkan menyatakan bahwa ghibah merupakan salah satu dosa besar (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah Juz 31 hal 332). Salah satu dalil yang menunjukkan keharaman ghibah adalah surah al-Hujuraat [49] ayat 12.
… ولا يغتب بعضكم بعضا ، أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه …
Artinya: “… Janganlah kalian mengghibah satu sama lain. Adakah di antara kalian yang senang memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya…” (QS. Al-Hujuraat [49]: 12)
Namun, menurut Imam Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab beliau Riyadh as-Shalihin, ghibah diperbolehkan dalam 6 (enam) keadaan. Alasan beliau adalah sebagai berikut:
اعلم أن الغيبة تباح لغرض صحيح شرعي لا يمكن الوصول إليه إلا بها
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya ghibah diperbolehkan dalam rangka mencapai tujuan yang dibenarkan oleh syara’, sedangkan tujuan tersebut tidak akan tercapai bila tanpa ghibah” (Riyadh ash-Shalihin Bab Maa Yubahu Min al-Ghibah hal 526).

6 keadaan tersebut –secara ringkas- adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal penganiayaan. Orang yang dianiaya boleh mengadukan orang yang menganiayanya kepada penguasa atau orang yang mempunyai kekuasaan atau kemampuan untuk menyadarkan orang yang melakukan tindakan aniaya tersebut. Misalnya orang yang dianiaya itu mengatakan, “Si fulan telah menganiaya saya dengan cara demikian”.

2. Dalam hal minta tolong untuk melenyapkan kemungkaran dan untuk menegur orang yang berbuat kemaksiatan. Misalnya seseorang berkata kepada orang yang diharapkan mampu melenyapkan kemungkaran, “Si fulan berbuat begini” dan lain sebagainya dengan maksud untuk melenyapkan kemungkaran. Jika tidak bermaksud untuk melenyapkan kemungkaran maka hal itu diharamkan.
3. Dalam hal minta nasihat. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain yang dianggap bisa memberi nasihat, “Saya dizhalimi oleh ayah, saudara, suami saya atau oleh seseorang, lantas bagaimana sebaiknya?”. Ini diperbolehkan jika memang hal tersebut diperlukan untuk mengatasi masalahnya.

4. Dalam hal memberi peringatan atau nasihat kepada kaum muslimin agar tidak terjerumus ke dalam kejahatan.

5. Menegur secara terang-terangan kepada orang yang telah menampakkan kefasikan atau perbuatan bid’ahnya, misalnya teguran kepada peminum khamr, orang yang merampas harta orang lain, orang yang menerapkan kebatilan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, diperbolehkan menyebut keburukan seseorang yang ditampakkannya secara terang-terangan, namun tidak diperbolehkan menyebutkan aib orang tersebut yang tidak ditampakkannya.

6. Dalam hal mengenali seseorang. Misalnya ada seseorang yang dikenal dengan gelar ‘si buta’, ‘si tuli’ atau ‘si bisu’, dan lain sebagainya, maka boleh untuk menyebut orang itu dengan gelar-gelar yang telah dikenal tersebut. Namun jika bertujuan untuk mengejek atau menghina maka diharamkan. Dan, kalau bisa, gelar-gelar buruk semacam itu sebaiknya dihindari.

Menurut Imam an-Nawawi rahimahullah, ghibah pada enam keadaan di atas telah disepakati kebolehannya oleh para ulama. Ada banyak dalil yang mendukung hal ini. Salah satunya adalah hadits dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim rahimahumallah sebagai berikut:
أتيت النبي صلى الله عليه و سلم فقلت إن أبا الجهم و معاوية خطباني ، فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم أما معاوية فصعلوك لا مال له ، وأما أبو الجهم فلا يضع العصا عن عاتقه
Artinya: “Saya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Sesungguhnya saya telah dilamar oleh Abu al-Jahm dan Mu’awiyah’. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Adapun Mu’awiyah maka ia adalah orang miskin yang tidak mempunyai harta kekayaan, dan adapun Abu al-Jahm maka ia tidak pernah menaruh tongkat dari bahunya (orang yang suka memukul)’.

CONTOH LAIN : (SEBUAH RENUNGAN)
MEMBICARAKAN ORANG LAIN, TAPI BUKAN GHIBAH:
Kisah Islam

Rahasia Kotak Infak
Sudah menjadi tradisi di Tanah Air kita, umumnya masjid-masjid dan mushala menyediakan kotak infak. Sebuah kotak infak berukuran besar di letakkan secara permanen di bagian yang dianggap strategis, bisa di teras sebelum pintu masuk, atau di bagian dalam langsung setelah pintu masuk.

Jika ada pengajian, kotak infak diedarkan keliling. Begitu juga waktu penyelenggaraan shalat Jumat, tidak lupa beberapa kotak infak diedarkan dari shaf depan hingga paling belakang. Biasanya jumlah infak pada hari Jumat lebih banyak dibanding dengan infak waktu pengajian.

Begitu jugalah yang terjadi pada sebuah masjid di salah satu kota/kabupaten di Jawa Tengah. Setiap selesai rangkaian ibadah Jumat, beberapa orang takmir, kadang-kadang dibantu oleh jamaah mulai membuka kotak infak dan menghitungnya. Isi kotak infak didominasi uang recehan Rp 500, Rp 1.000, dan Rp 2.000. Sesekali terdapat uang Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, dan Rp 10 ribu.

Tetapi yang menarik perhatian, pada setiap Jumat selalu ada satu lembar uang Rp 50 ribu. Lembaran uang tersebut selalu tampil sendirian, kesepian, tidak ada temannya. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun selalu ada uang lembaran Rp 50 ribu sendirian. Siapa dermawan itu, tak seorang pun tahu.

Sang dermawan tidak pernah sekalipun memperlihatkan uang Rp 50 ribuan tersebut, baik sengaja ataupun tidak kepada jamaah di sampingnya. Barangkali uang itu memang sudah disiapkannya sedemikian rupa dari rumah, dilipat kecil-kecil, di letakkan di kantong baju, sehingga tidak terlihat orang lain. Begitu kotak infak lewat di depannya, maka tangan kanannya langsung memasukkan uang tersebut ke dalam kotak sambil ditutup dengan tangan kirinya.

Bukan berarti menutupi tangan itu karena yang disumbangkan lebih kecil, lebih besar atau malu karena terlihat orang di sampingnya. Ia berinfak ikhlas karena Allah. Orang yang berinfak dan tidak diketahui oleh yang lain, maka dia akan mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat nanti. (Shahih Muslim No 1712).

Alhasil, selama bertahun-tahun tidak ada seorang pun yang tahu siapa dermawan itu.  Pada suatu Jumat, tiba-tiba petugas infak tak menemukan lagi uang Rp 50 ribu itu. Para penghitung saling berpandangan dan bertanya-tanya. Pada Jumat berikutnya mereka tak menemukan uang serupa. Begitu seterusnya. Para penghitung, termasuk takmir masjid jadi penasaran. Mulailah pengurus serius menyelidikinya. Akhirnya pertanyaan itu terjawab.

Pada suatu hari sehabis mengisi pengajian di masjid tersebut, saya diajak oleh pengurus masjid makan di sebuah rumah makan tidak jauh dari masjid. Sewaktu makan-makan itulah seorang pengurus menceritakan kisah uang tersebut. “Ustadz tahu, siapa dermawan itu?” tanya seorang pengurus dengan serius. Dengan antusias saya menunggu jawabannya. Pengurus itu meneruskan ucapannya: “Dermawan itu adalah Pak Haji pemilik rumah makan ini.” Saya menyelidik, “Dari mana Anda tahu?”

“Sebab, uang Rp 50 ribu itu tidak pernah ada lagi kemunculannya di kotak amal, persis dua hari setelah Pak Haji pemilik rumah makan ini meninggal dunia. Sejak itulah, uang tersebut tak pernah lagi ditemukan di kotak amal.” Semoga Allah SWT memberi ganjaran berlipat ganda akan kedermawanan dan keikhlasan Pak Haji tersebut.

Semoga bermanfaat.